Sebuah taman bisa menjadi saksi bisu perjuangan dan keberanian arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu, juga menjadi tempat pertemuan manis antara manusia dan hewan, menjadi tempat melepas penat setelah seminggu berjuang melawan kehidupan, juga sebagai tempat singgah rekreasi tak berbayar di kota metropolitan yang sibuk ini. Dibawah tudung dedaunan yang berusaha di tembusi cahaya matahari, Taman Sejarah menyimpan sejuta kisahnya.
Matahari tepat berada di atas kepala ketika motor yang membawa saya berhenti di Jalan Rajawali, di sebelah trotoar yang menjadi batas antara jalan raya dan area taman. Di sana, berjejer beberapa becak lengkap dengan pengemudinya yang bersantai di atas becaknya – mereka saling mengobrol membicarakan penumpang yang tak kunjung datang, jalanan yang tak pernah sepi oleh kendaraan, dan kebutuhan di rumah yang tak kunjung tercukupi – juga angkutan umum yang berhenti seenak hati sopirnya untuk mencari penumpang, tak ada tukang parkir yang mengatur. Mobil-mobil pribadi, motor juga angkutan umum lainnya berlalu lalang. Jalanan yang cukup ramai.
Ini merupakan pertama kalinya saya berkunjung masuk dan menjelajah ke area Taman Sejarah ini. Mengingat rumah saya yang berlokasi di daerah Demak, saya cukup sering melalui jalanan yang melintasi Taman Sejarah ini. Saya datang bukannya tanpa alasan, karena seringnya melihat nama “Taman Sejarah” terpapar besar dan jelas dengan warna merah, sebenarnya saya sudah sejak lama ingin berkunjung ke taman ini setiap saya melintasi jalanan.
Kata ‘sejarah’ sendiri memiliki arti yang begitu penting bagi saya. Bagaimana tidak? Segala sesuatu memiliki kisah masa lalu – kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu, satu abad lalu – yang menjadikan hal tersebut seperti sekarang ini. Seperti halnya sejarah taman ini sendiri. Dulunya taman ini dikenal dengan nama Jayengrono. Terbukti, beberapa papan tanda pada bagian dalam taman juga masih menggunakan nama tersebut. Penamaan nama tersebut bukan tanpa alasan, karena salah satu taman ini bersebelahan dengan Jalan Jayengrono yang dulunya ketika kependudukan oleh Belanda bernama Jalan Willemsplein.
Melangkahkan kaki lebih dalam, di sepanjang trotoar juga ada beberapa pengunjung taman yang tengah bersantai duduk di kursi. Ada juga beberapa pengemudi angkutan umum yang tengah bersenda gurau satu sama lain. Pada bagian kiri trotoar, terpasang lampu-lampu yang membentuk lorong – yang saya rasa akan sangat menawan pada malam hari. Sedang, pada bagian kiri trotoar terpasang bambu-bambu dari bahan plastik bening yang berjajar sepanjang trotoar hingga akhir belokan jalan. Tak lupa, penanda bertuliskan “Taman Sejarah” berwarna merah dan putih yang telah saya sebutkan pada paragraf kedua tadi.
Sejumlah total 9 anak tangga mengantarkan saya menuju bagian tengah taman. Berikut juga empat buah pilar yang berdiri kokoh, masing-masing dua pada sisi kanan dan kiri. Ketika sampai pada anak tangga paling atas, pemandangan lain yang saya saksikan ialah Jembatan Merah Plaza (JMP) yang berbatasan di sisi utara Taman Sejarah, dipisahkan oleh ruas Jalan Garuda.


Gambar 1 & 2. Jembatan Merah Plaza pada sisi utara Taman Sejarah
Jembatan Merah, Gedung Internatio dan peperangan 10 November 1945
Nama “Jembatan Merah Plaza” diberikan bukan tanpa alasan. Pada batas tenggara Taman Sejarah, saya dapat melihat dengan jelas Jembatan Merah berdiri kokoh dengan cat warna merah menyala yang menjadi ciri khasnya itu. Warna merah memiliki sejarah dibaliknya, jembatan yang dulunya dari bahan kayu ini menjadi identik dengan warna merah karena banyaknya pertumpahan darah antara arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu.
Sedangkan pada sisi barat Taman Sejarah berdiri dengan megah sebuah gedung bersejarah, Gedung Internatio. Gedung yang ada sejak zaman penjajahan Belanda ini merupakan tempat pengelolaan perdagangan di zaman Belanda. Kemudian pada Oktober 1945, dilansir dari surabaya.panduanwisata.id, gedung ini beralih fungsi sebagai markas pasukan Komandan Brigade ke-49 Inggris yang mendarat di Surabaya.
Tidak heran, Taman Sejarah kemudian menjadi titik tewasnya Brigjen A.W.S Mallaby yang merupakan Komandan pasukan Inggris. Pada 10 November itulah arek-arek Suroboyo dengan keberanian membara berbekal senjata seadanya melakukan pengepungan di depan gedung yang diresmikan pada 1931 itu. Tembakan senjata modern dari pasukan sekutu memborbardir arek-arek Suroboyo, situasi semakin panas ketika sebuah granat meledak pada mobil yang ditumpangi Brigjen A.W.S Mallaby.
Jembatan Merah, Gedung Internatio dan Taman Sejarah menjadi bukti sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu. Pecahnya pertempuran 10 November 1945 membawa Surabaya dengan julukannya sebagai ‘Kota Pahlawan’.
Saya rasa, seluruh kisah sejarah dibalik inilah yang membawa perubahan nama Taman Jayengrono menjadi Taman Sejarah Wali Kota Surabaya, Dr. Ir. Tri Rismaharini, M.T yang mulai menjabat sejak Februari 2017 ini.
Area Taman Sejarah

Gambar 3. Peta Taman Jayengrono
Di area taman yang terbagi ke dalam 5 bagian – panggung, air mancur, kolam, taman bermain, plaza – kedatangan saya dari sisi selatan di Jalan Rajawali disambut kolam yang digambarkan dengan abjad ‘c’. Selain itu pada bagian utara taman juga terdapat kolam pasir yang cocok bagi pengunjung yang membawa buah hati mereka. Saya pribadi kurang tertarik, namun menyenangkan untuk bisa melihat anak-anak tersebut bermain ceria.
Sudah ada puluhan pengunjung di dalam area taman ketika saya melangkahkan kaki lebih jauh. Anak kecil berlarian ke sana kemari, beberapa yang lain duduk berteduh di bawah bayangan pohon, ada juga seorang ayah mengajarkan anaknya bermain pianika disalah satu bangku taman. Panggung berukuran 8 x 6 meter berwarna merah dan kuning lengkap dengan karpet merahnya terpasang di area plaza taman. Saya tidak tahu itu untuk apa, namun yang saya dengar dari Mbah Emi, terkadang ada penampilan tarian daerah pukul 3 sore.
Mbah Emi dan bungkusan coklatnya
Mbah Emi memiliki kisahnya sendiri di taman seluas 5.300 meter persegi ini. Ketika saya sedang berbincang dengan pengunjung lain, saya melihat sosok Mbah Emi sedang membuka bungkusan kertas coklat dan membiarkan kucing-kucing yang lewat untuk makan. Bagi saya, yang sangat mudah tersentuh dengan kebaikan macam itu, jujur saja menjadi membagi perhatian antara perbincangan saya dan peristiwa yang menyentuh itu.
Setelah memutuskan untuk mengajak Mbah Emi mengobrol, saya mengetahui bahwa perempuan yang telah memiliki 2 cucu ini tinggal sebatang kara di Surabaya. Anak semata wayangnya tinggal bersama suaminya di Jepara, Jawa Tengah. Sudah lama sekali, sejak Emi mengunjungi anak dan cucunya di Jepara. Ia mengaku belum memiliki ongkos lagi untuk biaya perjalanan ke sana.
“Ya, kepingin sebenarnya. Tapi ndak ada uangnya. Sudah beberapa bulan juga tidak dikasih jatah sama anak saya. Habis stres karena anaknya kecelakaan, jadi tidak bekerja,” jelas Emi ketika ditanya mengenai keberadaan anaknya.
Beberapa kali dalam waktu satu minggu, Emi kerap mengunjungi taman. Sekedar mencari udara sejuk, atau duduk melihat pengunjung yang lalu lalang ujarnya. Dari kamar kos di daerah Tambak Sari yang ia tinggali, ia menaiki angkutan umum (lyn) dengan ongkos sebesar Rp. 5000. Sesampainya di taman, Emi mencari sudut supaya ia dapat duduk bersantai. Tidak menentu lokasinya, asal rindang dan tidak terpapar sinar matahari.



Gambar 4 – 6. Mbah Emi duduk bersantai
Tak hanya sekedar bersantai, Emi juga memiliki kebiasaan lain. Berangkat dari kamar kos kecilnya itu, ia biasa menyiapkan sebungkus nasi yang diuleni dengan ikan pindang atau ikan asin. Lalu bungkusan kertas coklat itu ia bawa dalam tas tenteng warna hitamnya ke area taman. Sambil bersantai, Emi memanggil kucing-kucing yang berlalu lalang. Sebagian besar telah mengenalnya. Ia membuka bungkusan coklat itu dan membiarkan kucing-kucing makan.
“Ya tidak menentu, seadanya. Kalau ada ikan pindang ya pindang. Kalau tidak ada ya ikan asin,” jelas Emi kepada saya.
Saya tidak pernah mengira, bahwa sebuah taman bisa membuat saya kembali mendefinisikan arti kata berbagi. Begitulah yang saya rasakan ketika melihat Mbah Emi membuka bungkusan coklat dari tasnya dan membiarkan kucing-kucing makan seperti yang saya ceritakan tadi. Yah, TamanSejarah ini menjadi saksi bisu peristiwa manis itu.
Kita tidak perlu menjadi sukses dan kaya raya untuk bisa berbagi, tidak juga perlu menjadi hebat, tidak perlu menjadi aktivis, tidak perlu menjadi itu semua. Yang terpenting adalah kerelaan hati untuk mau berbagi. Berbagi mengambil banyak bentuk dari kehidupan. Bukan sekedar materi saja, melainkan waktu dan kesediaan. Emi, menyediakan waktu untuk membuatkan ulenan nasi dan ikan untuk kucing-kucing.
Di usia tuanya, Emi memilih menghabiskan waktu bersantainya mengunjungi taman. Mungkin baginya lebih baik menghabiskan waktu bersantainya di taman daripada di kamar kosnya seharga Rp. 300.000/bulan ketika ia tidak sedang menjadi rewang untung tetangga-tetangganya. Entah memotong-motong wortel, atau mencuci pakaian anak-anak yang baginya tidak terlalu berat, ia lakoni itu semua untuk menanggung biaya hidup sehari-hari.
Nuryati dan kenangan masa kecilnya
Lain dengan Emi, Nuryati (37) punya alasannya sendiri menghabiskan waktu di area Taman Sejarah. Yap, ia adalah ibu yang saya maksud tadi yang saya ajak berbincang. Sambil duduk santai di salah satu jalan setapak di taman yang rindang, Nuryanti memantau aktivitas anak semata wayangnya, Nuril (10).
“Yaa, buat ini loh dek.. Cari hiburan, ngisis. Refreshing. Dari Galaxy tadi, langsung patas minta ke sini,” jawab Nuryati santai ketika saya tanyakan alasan berkunjung ke taman. Memang hari Minggu yang ia pilih untuk waktu berkunjung. Biasanya dari rumahnya di daerah Suramadu, Nuryati mengendarai motor menuju Taman Sejarah. Tidak setiap minggu, namun menyempatkan waktu setidaknya dua minggu sekali mengajak Nuril bersantai di taman.
Gambar 7. Nuryati dan Nuril
Tumbuh di Surabaya, Nuryati juga mengalami perubahan di area Taman Sejarah. Dulunya adalah terminal bus-bus dengan tujuan luar kota. Aktivitas begitu ramai dengan adanya terminal dan orang-orang yang menjajakan dagangan.
“Dulu ini ruaaame dek. Banyak bus-bus, tujuan Gresik saja ada. Sekarang tidak ada. Ada juga lyn, motor kol,” jelas Nuryati antusias. Ia mengenang masa-masa kecilnya ketika Nuryati masih sering berkunjung ke rumah neneknya di Gresik. Juga pembangunan taman yang dimulai ketika anaknya masih usia balita.
Rute Wisata Sejarah
Pemandangan lain yang saya lihat ketika kunjungan saya ke Taman Sejarah ialah sebuah bus berwarna oranye menyala bertuliskan “Surabaya Shopping and Culinary Track” terparkir di ruas Jalan Garuda di sisi utara taman yang berbatasan dengan JMP.

Gambar 8. Bus Pariwisata Surabaya yang hendak parkir di Jalan Garuda
Saya lihat, Cak dan Ning Surabaya sedang duduk dibangku taman sembari busnya masih terparkir. Gilang (22) dan Bella (19), begitu sapaan pemandu Bus Pariwisata Surabaya ini. Mereka tergabung dalam peguyuban Cak dan Ning Surabaya pada tahun 2018 ini. Secara reguler, bus tersebut berjalan pada hari Selasa, Sabtu dan Minggu pukul 09.00. Pada Minggu Ganjil akan melalui Rute Museum, dimana persinggahan terakhir adalah ke Taman Sejarah sebelum kembali ke Balai Pemuda.
- Rute Museum (Ganjil) : Balai pemuda, Balai Kota, Siola (Museum Surabaya), Museum Dokter Soetomo, Tugu Pahlawan, Museum Bank Indonesia, Museum Kesehatan Indrapura, JMP, kembali ke Balai Pemuda lagi.
- Rute Bahari (Genap) : Balai pemuda, Balai Kota, Monkasel, Siola (Museum Surabaya), Kenjeran (Sentra Ikan), Sentra UKM Meer, kembali ke Balai pemuda.
“Untuk bisa berkendara, setiap bulannya tanggal 1 bisa melakukan pendaftaran di Tourism Information Centre di Balai Pemuda. Bisa dengan kelompok atau sendiri. Tarif 7.500 untuk satu kali perjalanan,” jelas Gilang mengenai pendaftaran.
Dalam setiap pemberhentian bisa memakan waktu yang berbeda-beda. Di Taman Sejarah sendiri penumpang diberi waktu sebanyak 1 jam untuk berkeliling taman, termasuk berbelanja di pusat grosir JMP. Rupanya, Pemerintah Kota Surabaya masih memberikan fasilitas agar masyarakat dapat menikmati wisata di kota sendiri.
Di sisi-sisi lain taman, sejumlah pedagang kaki lima mengadu nasib mencari nafkah. Pedagang bakso, es degan, rujak buah, pentol, ikut meramaikan suasana pinggir Taman Sejarah. Beberapa pengunjung terlihat mampir dengan motor terparkir di sebelah gerobak. Matahari yang mulai menyembunyikan diri tidak menyurutkan semangat mereka semua untuk mencari nafkah. Tukang-tukang becak masih menawari saya untuk naik ketika saya berjalan berkeliling di luar area taman.

Gambar 9. Pemandangan Taman Sejarah dari sisi utara
Tulisan ini dibuat untuk pemenuhan tugas matakuliah Penulisan Feature (Semester 5) dan kemudian dibukukan.

Leave a reply to Kota Lama Surabaya yang Baru – VERONICAKUDO Cancel reply