Bekerja dan Berarti sebagai Alat-Nya
Dibalik kedudukannya saat ini menjadi orang nomor 1 di Universitas Kristen (UK) Petra, Djwantoro memulai karirnya saat ini dengan keinginan sederhana untuk dapat mengajar. Ia ingin membagikan ilmu yang ia miliki. Djwantoro lahir dan menghabiskan waktunya hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Blora, Jawa Tengah.
“Dunia saat itu ya, belum ada jaringan internet. Saya dulu tidak tahu mengenai Teknik Sipil. Kalau Teknik Mesin punya bayangan mesin, kalau elektro punya bayangan elektro. Sipil tidak tahu,” jelas Djwantoro mengenang kembali keputusannya untuk melanjutkan studi Teknik Sipil di Surabaya.
Keputusannya untuk mengambil Program Studi (prodi) Teknik Sipil rupanya didasari dengan sebuah hasil psikotes yang ia ikuti pasca kelulusannya dari SMA Negeri Blora. Saat itu, yang ia pertama tahu mengenai Teknik Sipil ialah berkaitan dengan bagunan dengan mata kuliah matematika dan mekanika. Karena pria kelahiran 10 Desember 1960 ini rupanya menyukai mata pelajaran matematika sejak duduk di bangku sekolah, tak ragu ia kemudian melanjutkan studi ke Prodi Teknik Sipil UK Petra.
Berbeda dengan keputusannya di Teknik Sipil, melanjutkan studi ke UK Petra bukan merupakan sebuah kebetulan. Sederhana saja, salah satu kakaknya ada yang pernah menjadi kepala sekolah di SD Petra. Kakaknya itulah yang mengenalkan Djwantoro kepada nama Petra.
Ketika menempuh masa studinya di UK Petra, ayah dari 2 anak ini mengaku sempat “kecemplung” dalam organisasi Pers Mahasiwa GENTA. Kemenangannya dan dua temannya dalam lomba penulisan artikel membuat mereka didaulat menjadi Pemimpin Redaksi, Bendahara dan Sekretaris Majalah GENTA yang pada waktu tersebut sempat mengalami vakum cukup lama.
Kebiasaannya membaca buku dan menulis juga melatar belakangi jabatan yang pada saat itu ia emban di Persma. Keikutsertaannya dalam Persma baginya memberikan bekal tersendiri dalam hal menulis. Ia banyak belajar dari kunjungan-kunjungan dan baginya menulis bukanlah menjadi hal yang sulit. Saat ini, Djwan mengisi waktu luang dengan membaca buku biografi. Satu buku favoritnya ialah mengenai biografi Rafael Nadal, seorang pemain tenis dunia.
“Dia bisa mencapai kesuksesannya karena bekerja keras, konsistensi dan determinasi yang tinggi. Tidak mudah menyerah,” hal-hal tersebut yang ia pelajari dari pemain tenis dunia tersebut.
Tiga tahun setelah kelulusannya, akhirnya Djwantoro membulatkan tekadnya untuk menjadi dosen dan mengajar di Universitas Katolik Widya Mandira (UKWM), Kupang selama 13 tahun lamanya. Bukan tempat yang dekat dengan Surabaya, apalagi Blora. Keputusannya untuk berangkat mengajar di Kupang berlandaskan keinginannya bekerja, menjadi dosen yang mampu berarti.
“Meskipun teman-teman saat itu bilang kalau di Kupang akan jauh, terbelakang, kering, tidak mungkin maju bahkan menjadi daerah paling miskin di Indonesia. Ya alasan saya sederhana, ingin bekerja, dapat berarti, dapat berbuat sesuatu,” jelas Djwantoro tegas.
Bahkan saat itu, Daniel Pribadi yang menjabat sebagai Wakil Rektor 1 menyarankan Djwantoro untuk mengajar di universitas lain di Surabaya. Namun Djwantoro merasa Surabaya telah memiliki banyak orang pandai yang akan mampu mengajar, maka itu dengan adanya kesempatan untuk menjadi dosen di Kupang, ia rasa ia akan mampu menjadi pribadi yang berarti.
Selama 13 tahun mengabdikan dirinya di UKWM, Djwantoro banyak melakukan perubahan.
“Karena saya mengetahui bagaimana sistem yang diterapkan di UK Petra, saya meminta ijin untuk mengambil inisiatif. Apakah boleh saya benahi sistem PRS dan KHS? Saya tanyakan itu, saya ajak teman-teman lain, saya benahi,” tutur Djwantoro mengenang masa-masanya mengajar sebagai dosen di UKWM.
Ditengah karirnya di UKWM, Djwantoro mencari kesempatan untuk studi lanjut. Hingga pada tahun 1991-1993 ia menempuh pendidikan di Asian Institute University of Technology di Thailand dengan gelar Master of Engineering.
“Memang kalau dilihat hidup saya pindah-pindah. Di Kupang, meskipun gajinya kecil, saya tetap menikmati. Bagi saya, hidup itu yang terpenting ada sesuatu yang dapat saya kerjakan, yang dapat saya kontribusikan,” tambah Djwantoro.
Djwantoro meninggalkan UKWM, merasa tugasnya telah selesai ketika tahun 2000 dan Sumber Daya dosen di sana telah membaik. Lulusan-lulusan didorong untuk mengambil studi S2 dan S3 sehingga dapat kembali mengajar di sana. Semesta mendukung, itu semua bertepatan dengan kehendak Tuhan bagi Djwantoro mendapatkan beasiswa dan kembali melanjutkan studi di Australia.
Perjalanan belum berakhir, dalam proses merampungkan studinya di Curtin University Djwantoro mendapat tawaran untuk mengajar di Curtin University di Malaysia. Selama 5 tahun ia menjadi dosen di Serawak, Malaysia sebelum kembali ke UK Petra mengajar di Teknik Sipil sekaligus menduduki posisi Kepala Pusat Penelitian pada tahun 2010. Kemudian pada tahun 2013-2017 menjadi Wakil Rektor 1 Bidang Akademik.
“Mengajar itu harus. Meskipun jam mengajarnya semakin berkurang,” tegas Djwantoro masih menjalani mimpi sederhananya sejak ia lulus S1. Tak lupa, hal terpenting bagi Djwantoro selama perjalanan hidupnya ialah doa.
Doa juga mengantarkan Djwantoro dalam pengambilan keputusannya untuk menjadi Rektor UK Petra periode 2017-2021. Baginya masa-masa pengambilan keputusan ini cukup sulit, karena baginya bukan jabatanlah yang ia kejar, sederhanya ia hanya ingin mengajar dan menjadi dosen.
“Luar biasa berat bagi saya saat itu. Saya terus meyakin bahwa saya sebagai alat yang dipakai Tuhan dan saya meyakini Tuhan dapat mengerjakan apapun melalui orang-orang yang paling lemah sekalipun. Saya tahu siapa yang berjalan bersama saya. Jadi tugas saya adalah senantiasa mengingatkan diri, peka dan rendah hati atas apa yang Tuhan inginkan dalam hidup saya,” ujar peraih penghargaan Indonesia My Home Award 2016 ini.
Dibalik itu semua, rupanya Rektor UK Petra periode 2017 – 2021 ini memiliki satu hobi yang cukup ‘menyimpang’ dari studi yang ia geluti. Berkebun. Ketika waktu senggang, atau akhir pekan ia mengurus tanaman-tanaman hias di rumahnya. Berbeda ketika ia masih di rumahnya di Blora, ia bisa sampai menanam tanaman buah-buahan.
“Di tempat saya tinggal selalu ada tanaman. Hanya di sini karena memang lahan tidak ada, ya yang seadanya saja,” jelas Djwantoro mengenai hobi berkebunnya yang ia dapat dari ibunya.
Ditengah aktivitasnya dan jadwal yang padat sebagai rektor, pria pecinta Sate Blora ini tetap menyediakan waktu untuk berolah raga. Secara rutin ia meluangkan waktu berjalan keliling kompleks perumahan di pagi hari, dulunya Djwantoro gemar bermain bulu tangkis. Tak hanya itu, Djwantoro juga masih aktif mengajar di Sekolah Minggu dan berpartisipasi di Kebaktian Remaja GKI Kutisari.
Tulisan ini dipublikasikan pada majalah BILIK tahun 2019.

Leave a comment